Kita mendadak rindu Sang Nabi, Muhammad SAW. Bukan karena kita pernah bersua dengannya, lalu tiba-tiba rindu. Kita rindu karena ajarannya, sebab teladannya sampai di zaman kita—zaman yang pelik ini.
Kita merindukannya, sebab kita tahu Muhammad SAW sukses membawa ajaran ketuhanan dari langit turun ke lapis bumi dengan visi kemanusiaan. Kita tahu Ia hadir mengatasi kebobrokan sosial, menata moralitas yang rusak, mereformasi cara manusia bertuhan, merombak tata ekonomi yang lebih adil, dan sebagainya.
Lalu bukankah kini kebobrokan sosial, kehancuran moralitas sedang bergemuruh? Bukankah kini ekonomi berputar kencang diatas, bergoyang lamban dibawah? Dan dengan itu, cara bertuhan kita mesti ditinjau ulang.
Kita lihat, bagaimana dilevel sosial kebobrokan berlangsung dimana-mana.
Hubungan-hubungan sosial pun kian bobrok lantaran ia tak lagi dibangun dari persaudaraan kemanusiaan. Tetapi ia kini dibentuk berdasarkan dukungan politik (Capres, caleg, calon kepala daerah). Tentu mencemaskan, sebab hubungan sosial dibangun bukan karena hati dan akal sehat. Pelbagai kelas masyarakat saling mendesak dan berunding, tapi tak selamanya terbentuk pertalian husnuzon.
Dalam suasana begitu, kita merindukan sang Nabi. Ia mendidik manusia dengan kemanusiaan. Ia menjebol batas-batas etnik perkauman dan keyakinan. Kelas-kelas sosial yang berbeda—hamba sahaya dan majikan, fakir dan kaya—ia seret keatas permadani yang sama; kemanusiaan yang setara.
Di level ekonomi, kita simak terus pertumbuhannya. Tetapi ada yang tumbuh secenti saja, ada yang tumbuh berkilo-kilo meter jauhnya. Pada bagian lain, orang-orang menghimpun harta, kalau perlu dengan pertumpahan darah diantara sesama. Dengan rakus mereka menggandakan kekayaan. Bila perlu, menumpuk pembantaian karena ambisi kekayaan. Neraka lalu hadir di dunia ini sebagai akibat keserakahan.
Gerakan Muhammad SAW tentang keadilan ekonomi mesti ditiru. Ia rela berbeda jalan bahkan dimusuhi pamannya sendiri, Abu Lahab yang kaya raya itu. Sebab Muhammad tahu, kekayaan sang paman adalah tumpukan penderitaan manusia lainnya.
Moralitas yang baikpun kini sedang terpental dilantai bawah. Yang tampil diatas adalah moralitas yang buruk. Watak caci-mencaci, tuding-menuding, kutuk-mengutuk dan fitnah merobek keadaban moral politik kita. Buruknya, sebab moralitas demikian seringkali atasnama agama dan ketuhanan. Dalam konteks itu, manusia berharap pahala Ilahi, tetapi yang mereka raih hanyalah tahi. Moralitas buruk yang menderas dianggap kebaikan yang mengeras.
Dengan itu semua, kita pantas merindukan Sang Nabi, Muhammad SAW, Rasul pembawa kemashlahatan, keselamatan. Spirit kemashlahatan itu mesti diteladani. Dan maulid tahun ini mengingatkan kita tentang itu.
Penulis: Abdul Karim, Dewan Pembina LAPAR Sulsel
Ilustrasi: Muhammad Irham Tuppu, Koordinator Divisi Riset dan Kampanye LAPAR Sulsel