Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat

BlogSisik Melik Titel 'Haji': Cermin Ilmu, Kemuliaan dan Semangat Pembebasan

Sisik Melik Titel ‘Haji’: Cermin Ilmu, Kemuliaan dan Semangat Pembebasan

Oleh: Syamsurijal Ad’han (Dewan Pengawas LAPAR SULSEL)

Di antara sekian ibadah yang dilakukan oleh umat Islam, hanya naik haji ke Baitullah yang mendapatkan titel. Segera setelah seseorang pulang ke tanah air sehabis menunaikan ibadah ini, orang-orang pun memberi gelar ‘haji’ kepadanya. Di depan namanya lantas disematkanlah gelar ‘Haji Fulan’ atau ‘Hajjah Fulan’.

Gelar ‘haji’ tak akan Anda temukan kecuali di beberapa negeri Melayu, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei. Akan halnya Indonesia, gelar haji  memiliki sejarah tersendiri. Informasi umum yang kita terima, gelar haji pertama kali muncul di seputar tahun 1916. Gelar itu, demikian dikatakan oleh Agus Sunyoto, secara sengaja diberikan oleh Kolonial Belanda kepada orang-orang yang telah berhaji dengan maksud melakukan pengawasan terhadap mereka.

Mengapa orang yang datang berhaji perlu diawasi?  Tidak lain karena nyaris seluruh perlawanan terhadap penjajah Belanda saat itu dipelopori oleh para haji. Ada tiga serangkai yang acap kali memimpin pemberontakan; haji, ulama-santri dan pemimpin tarekat. Pemberontakan Petani Banten, misalnya, digerakkan oleh Haji Marjuki, Kyai Haji Tubagus Ismail, Haji Ahmad dan Haji Wasid. Mereka adalah haji sekaligus pemimpin tarekat dan ulama yang  menjadi momok menakutkan bagi Belanda.

Pada saat itu orang Indonesia yang naik haji selain melaksanakan ibadah, juga banyak menimba ilmu dan membangun konsolidasi di Tanah Suci untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Itulah sebabnya, sepulang dari sana, mereka tidak hanya asyik masyuk di mihrab Masjid, beribadah dalam sunyi dan asyik sendiri dengan dunia spiritualnya. Sebaliknya mereka tampil ke garis depan, memimpin perlawanan terhadap kolonialisme.

Menghadapi para haji tersebut, maka konon Belanda akhirnya mengeluarkan  staatsblad tahun 1903. Dalam staatsblad itu diatur pemberian gelar haji  dan sertifikat. Termasuk pemerintahan Belanda pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia. Semua itu maksudnya tiada lain adalah mempermudah pengawasan kepada para haji sehingga bisa mengontrol perlawanan yang dilakukan oleh mereka.

Berbeda dengan itu, Emsoe Abdulrahman dalam “Hadji Tempoe Doeloe” menyebutkan gelar haji diberikan sebagai penghormatan kepada orang-orang yang telah  berhaji yang dianggap semakin mumpuni keilmuannya. Pada abad ke 16 hingga 19 orang-orang yang berangkat berhaji memang sekaligus pula menuntut ilmu.  Haramain kala itu menjadi pusat pendidikan Islam. Pada abad ke-16, telah ada Hamzah Fansuri yang naik haji sekaligus belajar tarekat Qadariyah. Sementara abad ke-17, tercatat nama-nama seperti Abdurrauf al-Fansuri, Syekh Yusuf al-Makassary. Di abad ke-18 terdapat nama-nama; Abdul Wahab Bugis, Nafis al-Banjari, Mahmud Imam Timurung Bone, Abdussamad al-Palembani, Abdurrahman Betawi dan lainnya. Pada abad 19, telah ada ulama-ulama nusantara yang mengajar di Masjidil Haram Mekkah, misalnya Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib Minangkabau dan Mahfudz Termas.

Jika merujuk pada Emsoe, maka gelar haji itu telah ada, jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda mengatur pemberian gelar tersebut dalam staatsblad tahun 1903. Gelar itu tidak lain adalah penghormatan masyarakat terhadap orang yang telah berhaji yang dianggap semakin alim. Berdasarkan kebiasaan alim-ulama kala itu, di mana berhaji adalah juga untuk menuntut ilmu, maka sangat beralasan asumsi masyarakat bahwa orang berhaji semakin tinggi ilmunya.

Namun anggapan bahwa gelar haji di nusantara baru muncul pada abad ke 16 disanggah oleh Ahmad Baso. Menurutnya gelar haji telah hadir sebelum itu. Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan ibunda dari Sunan Gunung Jati, bersama saudaranya Walangsungsang, telah berhaji sekitar 1443. Kepadanya pertama kali gelar haji itu disematkan.  Dalam naskah Babad Cirebon, Rara Santang disebut sebagai ‘Haji Sunda’.  Istilah ‘Haji Sunda’ tidak berarti orang berhaji di Sunda, tetapi menunjukkan orang Sunda yang naik haji. Istilah ini sama dengan ‘Aji Ugi’ yaitu satu frasa yang menunjukkan  sisik melik dan budaya orang Bugis naik haji ke Tanah Suci Makkah. Dalam naskah Babad Cirebon Br 36 dan Br 107 PNRI disebutkan: “haji kang lewih becik atas dadalan Allah, ‘(berhaji itu) adalah mengikuti jejak utusan Allah’ (Ibrahim)”.

Titel ‘haji’, dengan demikian, bukanlah titel sembarangan. Ia ibarat gelar ‘Kiai’ atau ‘Anronggurutta’ yang disematkan secara kultural oleh masyarakat kepada orang yang telah berhaji. Mereka dianggap telah  mencapai kemuliaan dengan berhaji. Mereka sudah mencapai maqam “To tongeng-tongeng” (Insan Kamil) atau bahkan To Mabettu (Manusia yang telah sampai pada ‘kebenaran’).

Kemulian diperoleh para haji,  karena, mereka telah menyempurnakan rukun Islam, mereka dianggap semakin mendalam pengetahuan dan pengamalan agamanya, mereka telah melihat bayangan kematian (sebab haji adalah cermin kematian) dan mereka telah membersihkan dosa-dosanya. Dalam ungkapan orang Bugis disebutkan  ‘lao sala lisu mancaji topanrita’(berangkatnya sebagai orang yang masih berdosa, pulang telah menjadi orang alim). Istilah ini juga direkam dalam tulisan Pelras, ‘The Bugis’.

Itulah sebabnya dalam tradisi masyarakat Bugis, sebelum resmi menggunakan songkok putih (songkok khas pria yang sudah berhaji) dan cipo-cipo (penutup kepala perempuan yang sudah berhaji, mereka melakukan ritual mappatoppo. Ritual ini dilakukan di Tanah Suci oleh orang yang dianggap ulama dengan cara menyungkupkan songkok haji atau cipo-cipo di atas kepala para jemaah haji.  Ritual ini menunjukkan bahwa kini mereka tengah menjunjung satu gelar yang mulia, yaitu ‘haji’.  Gelar yang harus dijaga baik-baik dengan perilaku yang semakin mawas dan ibadah yang semakin ikhlas.

Jangan lupa, gelar haji juga menyiratkan satu semangat pembebasan. Pertama-tama membebaskan manusia dari belenggu duniawi, yang kedua menjadikan seseorang yang telah berhaji memiliki semangat untuk membebaskan manusia lainnya dari ketertindasan, kemiskinan dan kebodohan. Tengoklah sejarah para haji-haji tempo dulu, di sana ada Haji Ahmad, Haji Marzuki ataupun HOS Cokro Aminoto, yang terjun langsung membebaskan masyarakat dari penindasan kaum penjajah. Atau Syekh Yusuf, Al-Palembani dan lainya yang membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan dan penjajahan.

Jika telah bergelar haji, kemuliaan, semangat pembebasan dan keluasan ilmu kini telah berada di pundak Anda. Maka seharusnya tidak ada cerita  seorang haji hanya ingin memperkaya diri sendiri, tidak ada berita seorang haji bertarung merebut kuasa dengan segala cara dan tidak ada kabar lagi seorang bergelar haji hanya karena ingin merebut pengaruh.

Jika dalam kehidupan kita ini masih ada yang berlomba merengkuh gelar haji hanya agar dalam salat disiapkan saf paling depan, di arena rapat suaranya ingin paling didengarkan, dalam pesta ingin duduk di panggung depan, maka jangan-jangan hajinya adalah ‘Haji Mardud’ atau ‘Haji Muhiddin’ seperti yang digambarkan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji.

Sumber: https://nahdliyyin.id/index.php/2022/07/07/sisik-melik-titel-haji-cermin-kemuliaan-semangat-pembebasan-dan-ilmu/

Terbaru

Lainnya