Bagaimana negara memperlakukan santri dinegeri ini? Mendengar pertanyaan begini, barangkali beragam jawaban yang menyeruak. Bagi yang bernaung di bawah atap instansi negara, barangkali pertanyaan itu dijawab dengan ringkas, bahwa negara telah berbuat banyak untuk santri melalui pesantren. Negara telah berkonstribusi untuk pesantren. Apalagi, pemerintah telah menetapkan 22 Oktober sebagai hari santri nasional. Sebelumnya tak pernah ada, tentulah ini istimewa. Dan sebagian kita bahagia menyimak semua itu.
Tetapi bagi mereka yang bergelut sebagai pengasuh santri, atau yang bergelar santri hingga alumni pondok pesantren, mungkin jawaban untuk pertanyaan tadi tak rumit; bahwa negara begitu “kikir” pada santri dan pondok-pondok pesantren sebagai tempat berfikir dan berdzikir kaum santri. Sebab mereka melihat dan merasakan setiap denyutnya pondok pesantren dimana mereka berputar.
Penetapan 22 Oktober sebagai hari santri bukanlahlah obat pelipur lara. Itu saja tentu tak cukup disebut “konstribusi”. Problem Kesantrian dinegeri ini tak tuntas dengan memberinya kalender khusus untuk mengingat jasa besar mereka di republik ini melawan Belanda—yang rutin diperingati seperti halnya hari besar kenegaraan. Santri berterimakasih dengan hal itu. Bukan berarti santri tak pandai bersyukur, tetapi ini soal keadilan distribusi kesejahteraan. Sebab persoalan dasar kesantrian dinegeri ini adalah loyonya negara berkonstribusi pada pesantren sebagai mesin produksi kesantrian.
Memang negara mendistribusikan tenaga-tenaga pengajar untuk pesantren. Memang negara sesekali memberi bantuan materil. Memang negara cukup rajin dalam membina pesantren. Tetapi itu semua tentu saja tak cukup lantaran negara tidak total dan populasi pesantren juga terus bergerak naik. Dan apalagi bila ditelisik tetesan air dari negara selama ini kepada pesantren seolah parsial.
Santri dan pesantren lantas dibiarkan menghidupi dirinya sendiri dalam rumah yang besar bernama NKRI. Dan harus eksis ditengah persaingan lembaga-lembaga pendidikan yang tak berimbang. Sejumlah masalah terus menerus merundungnya. Di Sulawesi Selatan sejumlah masalah yang merundung pesantren diantaranya; Pertama, sumber dana; boleh dikata dan operasional pesantren di Sulawesi Selatan bersumber dari dana publik atau swadaya masyarakat (dermawan dan donatur atau individu tertentu) dan bantuan institusi lain. Bahkan, tak sedikit pesantren di daerah ini menggalang dana dari alumni-alumninya untuk membantu pembiayaan pesantren dan madrasah. Ini semua menunjukkan bila basis finansial pesantren dan madrasah sangatlah lemah, sehingga ini berdampak pada pengembangannya bahkan keberlanjutannya.
Kedua, sarana dan prasarana penyelenggaraan pesantren di daerah ini yang masih belum memadai dikarenakan sebagian besar merupakan hasil swadaya dari masyarakat dan dermawan. Itu artinya, masalah infrastruktur pesantren berkait pula dengan sumber dana.
Ketiga, tenaga pendidik yang terbatas terutama yang berkaitan dengan standar kompetensi. Aspek ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan finansial pesantren dalam menjaring tenaga-tenaga pendidik (ustadz atau guru-guru lainnya). Itulah karenanya, dibanyak pesantren di Sulawesi Selatan tenaga pendidiknya biasanya direkrut dari alumni masing-masing pesantren. Rekruitmennya pun tanpa metodologi khusus sebagai standar mutu. Jika diperhatikan proses rekruitmennya yang serba informal, maka mereka sebenarnya dapat dikategorikan sebagai guru/pendidik sekaligus relawan. Apalagi, mereka memahami proses mengajar/mendidik di pesantren sebagai perwujudan penagbdian pada almamater.
Keempat, rendahnya tingkat kesejahteraan tenaga pendidik (guru/ustadz/ustadzah) di pesantren. Aspek ini tentu saja mempengaruhi mutu pembelajaran dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selama ini, gaji/honorarium guru/ustadz/ustadzah pesantren dan madrasah bersumber dari dana negara yang tak seberapa, serta sumbangan orang tua santri.
Kelima, kebijakan lokal. Pemprov Sulawesi Selatan memiliki Perda penyelenggaraan pendidikan di Sulsel, yakni Perda No. 2 tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Sayangnya, Perda ini tak mengakomodasi masalah penyelenggaraan pendidikan pesantren.
Begitulah sepenggal potret problem pesantren kita di daerah ini. Kita tentu berharap, problem-problem diatas dapat lepas dari pesantren kita agar santri yang lahir adalah manusia-manusia yang cerdas dan taat pada Islam sebagai agama kerahmatan. Dengan demikian, santri berpotensi pula berkonstribusi dalam mewujudkan rahmatan lil alamiiin.
Penulis: Abdul Karim, Ketua Dewan Pengawas LAPAR Sulsel
Ilustrasi: Muhammad Irham Tuppu, Koordinator Divisi Riset dan Kampanye LAPAR Sulsel