Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat

BlogPertunjukan Terakhir: Bissu dalam Impitan Kapitalisme

Pertunjukan Terakhir: Bissu dalam Impitan Kapitalisme

Kalimat itu diucapkan oleh Pajja, salah seorang Bissu di Pangkep, Sulawesi-Selatan, yang selama ini sering tampil di panggung pertunjukan dengan tari Sere Bissu dan tari maggirik (tarian sambil menusuk tubuh dengan keris). Saya sungguh terkesan sekaligus miris mendengar  ungkapan itu. Ternyata ada kesenjangan yang menganga antara dunia yang mempertunjukkan mereka di atas panggung yang wah, pencahayaan yang canggih dan kostum yang mahal dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagai catatan, Bissu ini adalah salah satu ahli spritual Bugis yang dianggap mewarisi kepercayaan dan tradisi Bugis Kuno (tradisi La Galigo). Dalam lima gender yang dikenal di Bugis, Bissu adalah gender kelima, selain Uruwane (laki-laki), makkunrai(perempuan), calabai (waria) dan calalai (laki-laki perempuan).

Bissu, seperti yang juga disebut oleh Sharyn Graham merupakan sosok meta-gender. Ia menghimpun keempat gender sebelumnya. Dalam kenyataannya yang menjadi Bissu memang ada perempuan dan pernah pula ada laki-laki. Kendati demikian yang dominan adalah para calabai

Puang Matoa Saidi (almarhum) menegaskan identitas Bissu ini dengan mengatakan  ”Urane majjiwa makkunrai, tengurane toi temmakunrai toi” (laki-laki yang berjiwa perempuan, tapi bukan laki-laki juga bukan perempuan). Ungkapan Puang Matoa, mengingatkan kita pada istilah Dede Utomo, woman trapped in men’s body’. Matthes menganggap Bissu ini sebagai orang suci yang akar katanya dari ‘bessi’ (suci).  Kalis, bersih atau suci, demikian Bissu disebut, karena mereka tidak haid dan  tidak mengeluarkan darah kotor, meski jiwa dan tampilannya perempuan.

Kita kembali pada cerita di awal. Ketika ungkapan Pajja itu terlontar, beberapa orang Bissu sedang pentas La Galigo keliling dunia pada 2003. Di titimangsa yang sama, Pajja bersama seorang teman laki-lakinya, sedang bermandi keringat, terbungkuk-bungkuk memanggul karung-karung yang berisi padi yang baru saja di panen. Pajja saat itu menjadi buruh angkat padi. Menjelang sore, di rumah kecilnya yang beratap rumbia di pinggiran hutan, tampak seikat padi, yang ternyata adalah upahnya mengangkut padi dari pagi hingga sore.

Apakah Anda tidak ikut pertunjukan keliling dunia juga, dari sana kan bisa mendapatkan sumber pendapatan.” Tanya saya ketika itu.

“Beberapa waktu yang lalu saya sempat tampil maggirik di panggung untuk sebuah pertunjukan. Itulah pertunjukan saya yang terakhir di panggung festival. Saya tidak mau lagi tampil menari di panggung pertunjukan, kalau di acara ritual mungkin masih mau.” Jawabnya kala itu.

Alasan Pajja meninggalkan panggung pertunjukan karena ternyata di pentas itu, tidak hanya tarian, Bissu pun sejatinya telah dikomodifikasi. Tarian ritual dan tubuh para Bissu telah menjadi komoditas. Dalam proses komodifikasi itu, Pajja merasa lebih banyak dirugikan. Yang untung adalah orang-orang luar.

Dalam proses selanjutnya, dunia pertunjukan itu akhirnya menciptakan persaingan di internal para Bissu sendiri. Mereka bersaing agar memiliki otoritas tampil di panggung pertunjukkan. Budaya hidup bersama sebagai satu komunitas tanpa disadari runtuh sedikit demi sedikit.

Panggung pertunjukan itu mungkin melahirkan decak kagum di seantero jagat. Mungkin juga membuat pundi-pundi uang kalangan tertentu makin membengkak. Tetapi di komunitas seniman (komunitas lokal) hanya melahirkan nestapa akibat konflik internal.    

Tekanan ekonomi tersebut ternyata mendera komunitas Bissu hingga kini.  Panggung pertunjukan yang telah memecah-mecah komunitas ini menjadi kelompok, bahkan menjadikannya kompetisi individu, akhirnya membuat beberapa sosok Bissu terlempar dari pusaran.

Yang bisa bertahan, mungkin, adalah mereka yang bisa memanfaatkan proses komodifikasi tersebut. Mereka ini akhirnya mengembangkan berbagai usaha atas nama kebissuannya; bikin sanggar tari, punya salon, jadi even organizer atau setidaknya mengembangkan usaha indo botting (perias pengantin). Tetapi berbagai usaha tersebut tidak lagi atas nama komunitas, melainkan individu atau paling banter genk calabai (waria) atau Bissu tertentu.

Bagaimana dengan para Bissu semacam Pajja, Uwa Matang dan  lainnya yang tidak bisa masuk dalam pusaran persaingan ekonomi semacam itu? Mereka inilah yang dihantui kemiskinan hingga hari ini. Para Bissu yang tidak masuk dalam jajaran elit dan justru adalah kelompok mayoritas, mereka-lah yang pada akhirnya dihantui kemiskinan.

Para Bissu yang terakhir ini, akhirnya banyak bergantung pada kerja upahan seperti yang dilakukan oleh Pajja. Ia menjadi semacam tenaga kerja upahan (wage labor) di sawah-sawah dan kebun milik orang lain. Sebelumnya memang dikenal ada semacam sawah adat tempat makan para Bissu. Dari sanalah mereka bertanam padi dengan dibantu oleh para TBoto (lelaki pendamping Bissu). Tetapi sayangnya sawah-sawah adat itu telah diprivatisasi. Menjadi milik individu dari orang-orang tertentu.

Bagi para Bissu yang tidak punya cukup tenaga untuk menjadi tenaga upahan, satu-satunya harapan mereka adalah pada perlindungan sosial dari pemerintah (negara). Sayangnya para Bissu ini sering kali luput dari jaringan pengaman sosial negara tersebut.  Boleh jadi, seperti kata Tania Murray Li (2014), kelompok semacam Bissu ini bukanlah ancaman bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik dan karenanya pemerintah dapat mengabaikan tanpa takut akan konsekuensi yang ditimbulkan.

Problem kemiskinan yang mendera komunitas lokal atau seniman semacam Bissu ini kadang luput dari pantauan tidak hanya negara, tetapi juga pengamat sosial. Soalnya secara kasat mata, di tengah-tengah mereka, misalnya, tidak sedang terjadi perampasan alat produksi oleh satu perusahaan atau pun pemerintah. Tidak juga terjadi meminjam istilah Murray Li ‘akumulasi primitif’ ala Marx. Tetapi diam-diam mereka telah dipecah-pecah menjadi individu-individu yang bersaing dalam memperebutkan pasar.

Persaingan memperebutkan pasar itu, akhirnya melahirkan satu sistem kapitalis tersendiri di tengah-tengah mereka. Yang tidak sanggup bertarung di dalamnya, tersingkir dan jadi Bissu-bissu yang miskin.  Apakah ini mirip dengan yang disebut oleh Murray Li dengan capitalism from below (kapitalisme dari bawah)?

Saya kira penelitian Murray Li  di masyarakat petani Laudje di dataran tinggi Sulawesi Tengah, telah menunjukkan, kapitalisme tidak selamanya muncul di satu tempat karena hadirnya satu perusahaan di daerah tersebut yang  membentuk hubungan-hubungan baru dalam perekonomian. Kapitalisme bisa muncul sendiri di masyarakat akibat dari cara mereka merespons pasar. Inilah yang disebutnya tadi, kapitalisme dari bawah.

Merujuk pada Robert Brenner ada dua cara masyarakat atau komunitas merespons pasar. Pertama pasar dilihat sebagai pilihan dan kesempatan (market as opportunity) dan yang kedua pasar mau tidak mau (dipaksa) harus diterima (market as an compulsion).

Dalam kasus Bissu, dua hal ini terjadi. Pada awalnya mereka harus menerima pasar karena terpaksa. Sebelumnya para Bissu tidak mengenal komodifikasi tradisi dan komodifikasi berbagai tarian ritual. Mereka melakukan hal tersebut semata-mata karena kepentingan ritual adat dan kebutuhan masyarakat. Makan, minum dan seluruh hajat hidup mereka dipenuhi oleh pengurus adat di tingkat lokal atau jemaahnya.

Tetapi belakangan, tradisi dan berbagai keterampilan mereka untuk menari dibuatkan pasar oleh pihak pariwisata, bahkan oleh orang asing. Mereka dipaksa untuk menerima bahwa mau tidak mau tradisi dan kemampuan menari mereka, khususnya tari maggirik harus bisa dijadikan komoditas untuk dijual di pasar.

Di antara para Bissu pada akhirnya melihat hal ini sebagai kesempatan (market as opportunity) dan akhirnya berusaha untuk mengkreasi dan mengkomodifikasi tradisi sedemikian rupa agar bisa laku dijual di pasar. Proses ini akhirnya menciptakan persaingan di dalam tubuh komunitas Bissu. Bissu yang tadinya adalah satu komunitas, terbagi-bagi menjadi kelompok kecil (small group). Grup-grup kecil inilah yang bersaing memperebutkan pasar.

Persaingan memperebutkan pasar ini, bahkan berkembang dalam bentuk mencari pengaruh dan modal sosial di masyarakat. Untuk menabalkan pengaruhnya di masyarakat, grup-grup Bissu ini kadang-kadang pada akhirnya membuat arajang-arajang(pusaka peninggalan leluhur) tandingan.  Sering pula membuat ritual-ritual baru yang lebih memukau. Modal sosial ini dibutuhkan agar grup-grup Bissu yang bersaing itu bisa menguasai pasar.

Dalam persaingan semacam ini, akhirnya ada yang terlempar dari pusaran. Tidak sanggup ikut dalam kompetisi memperebutkan pasar. Muncullah orang seperti Bissu Pajja, Uwa Mattang dan lainnya, yang akhirnya sekarang berkubang dalam ngarai kemiskinan.

Temuan Murray Li yang kemudian terbit pada 2014 dengan judul Lands End; Capitalist Relations on an Indigenous Frontier, menunjukkan, para petani Laudje dengan sadar menerima pasar sebagai sebuah kesempatan, tetapi akibatnya membuat beberapa dari mereka terjatuh pada kemiskinan. Sebaliknya dalam komunitas Bissu, sebelum mereka menerima pasar sebagai sebuah kesempatan, terlebih dahulu mereka dipaksa dulu untuk menerimanya. Dengan demikian, boleh dibilang, kapitalisme yang muncul di komunitas Bissu ini tidak murni muncul dari bawah, tetapi pada mulanya didesakkan dari atas (capitalism from above).

Selama ini pemerintah bahkan pendamping komunitas Bissu sendiri mengabaikan persoalan ini. Disangkanya dalam derap modernisasi dan kapitalisasi, para Bissu berhasil bernegosiasi dan mengkreasi tradisi mereka, tidak hanya agar tradisi tetap bertahan, tetapi juga agar mereka bisa tetap survive secara ekonomi. Hal itu memang terjadi, tetapi hanya bagi segelintir Bissu. Sementara yang lainnya, akhirnya terjatuh pada kubangan kemiskinan.  Walhasil, jika persoalan ini tidak menjadi perhatian bersama, tidak menunggu lama, Bissu boleh jadi tinggal kenangan.

Penulis: Dr. Syamsurijal, M. Si (Dewan Pengwas LAPAR SULSEL)

Terbaru

Lainnya