Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat

AktivitasDemokrasiMengapa Nahdlatul Ulama Sulsel Harus Menolak Program Ekstensifikasi Sawit ?

Mengapa Nahdlatul Ulama Sulsel Harus Menolak Program Ekstensifikasi Sawit ?

Di bawah gelapnya malam dan hembusan angin timur yang menyapu barat, tiba-tiba saya diajak oleh Kak Mubarak Idrus untuk menghadiri Lailatul Jjtima Pengurus Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan (PWNU Sulsel). Dengan sigap saya dan Kak Barak segera bergegas menuju Jl. Skarda N 2 No. 3 tepatnya di kediaman Ketua Tanfidziyah PWNU Sulsel, Anregurutta Dr. Hamzah Harun Al-Rasyid, MA. Lailatul ijtima merupakan suatu pertemuan yang di hadiri para pengurus NU serta jamaah dan jamiiyah Nahdlatul Ulama untuk membahas agenda organisasi. 

Setibanya di tempat kegiatan saya di ajak naik ke ruangan pertemuan di lantai dua, awalnya saya menolak dengan pertimbangan bahwa saya tidak termasuk pengurus NU Sulsel, namun saya tetap saja di ajak oleh Kak Barak untuk naik ke ruangan pertemuan sebagai jamaah nahdliyyin. Seketika juga kaki ini melangkah menuju lantai dua ruangan pertemuan, dengan mengenakan celana jeans, jaket outdoor dan peci hitam sayapun memasuki ruangan. Melihat Suasana ruang pertemuan yang di hadiri oleh para Kiai, Pimpinan pondok pesantren , serta pengurus Nahdlatul Ulama Sulsel, saya pun merasa sungkan dan tegang, mungkin karena ini kali pertama saya menghadiri Lailatul Ijtima dan satu forum bersama para Kiai. 

Duduk dengan kaki bersilah, sambil memandang ke arah kiri dan kanan saya melihat ada beberpa orang yang saya kenali termasuk senior-senior saya di PMII dan LAPAR Sulsel, yang juga menjadi pengurus wilayah. Saat itu forum sedang berlangsung, bisa dikatakan setengah berjalan dan saya ketinggalan beberapa pemaparan yang di sampaikan oleh Anregurutta Dr. Hamzah Harun. Dengan penuh perhatian saya menyimak pemaparan yang disampaikan para pengurus NU Sulsel lainnya.  Suatu ketika salah satu pengurus memaparkan program ekstensifikasi sawit dari Kemeterian yang akan dikerjasamakan dengan PWNU Sulsel. Saat itu juga saya mencoba memaksimalkan fokus perhatian saya ke pembahasan ini. Para peserta yang hadir dengan saksama mendengarkan program yang ini. 

Dari kejauhan tatapan saya mengarah ke beberapa senior yang dulunya aktif bergerak bersama kelompok masyarakat sipil melawan ekpansi industri perkebunan di kajang, dari raut wajah dan gestur tubuh mereka mengandung kegelisahan ketika mendengar program ini. Dalam benakku berkata apakah di forum yang istimewa ini ada yang berani ‘menolak’ program ini. Tiba saatnya forum Lailatul Ijtima diserahkan kepada para paserta yang hadir untuk memberikan umpan balik terhadap pemaparan beberapa program. Tiga peserta pertama yang memberikan umpan balik semuanya Kiai dan belum terlihat respon terhadap program ekstensifikasi sawit di Sulsel, tiba-tiba peserta ke empat coba memberikan umpan balik, mengambil pengeras suara, dibuka dengan ucapan salam, nada yang halus serta sikap menghormati dan menghargai para kiai yang hadir, Syamsurijal Ad’han atau Kak Ijhal Tamaona sapaan anak muda NU terhadap beliau. Syamsurijal merupakan Ketua Lajnah Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Sulsel dan juga peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).      

Secara garis besar Kak Ijhal tidak menyatakan penolakan tegas terhadap program ekstensifikasi sawit  dalam forum lailatul ijtima, akan tetapi ada beberapa masukan serta kritikan terhadap program ini, Kak Ijhal berangkat dari pengalaman ketika tergabung dalam gerakan masyarakat sipil melawan industri perkebunan skala besar di Sulawesi selatan, beliau menyatakan bahwa rakyat selalu menjadi korban atas ekpansi industri perkebunan terkhusus komoditi kelapa sawit. Ekstensifikasi sawit membutuhkan perluasan lahan, pertanyaannya dari mana lahan-lahan tersebut dijadikan sebagai perkebunan kelapa sawit? Ungkap Kak Ijhal, apakah dari hutan yang ditebang ? atau sengaja di bakar ? Apakah diambil dari lahan produktif yang selama ini dikelola oleh rakyat atau lahan mati yang coba dihidupkan kembali. Ia kembali mengingatkan sebaiknya program ini perlu dikaji ulang dengan melibatkan kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu ini, karena dalam keputusan Bathsul Masail NU haram hukumnya mengalihfungsikan lahan produktif. 

Diakhir kesempatan, ia mengatakan dilapisan paling bawah masyarakat pedesaan selalu menjadi korban akibat ekspansi industri perkebunan sawit dan kebanyakan dari kalangan Nahdliyyin, alangkah baiknya program ini harus dikaji ulang dengan melihat sejauh mana mudharat dan maslahatnya, jangan sampai NU hanya dijadikan ‘bumper’. Umpan balik yang di sampaikan oleh para peserta terkhusus terkait program ekstensifikasi sawit di Sulsel di jawab oleh Ketua PWNU Sulsel, bahwa akan mengkaji ulang program tersebut dengan melibatkan para ahli dan kelompok masyarakat sipil dengan prinsip adil dan partisipatif.

Catatatan Kritis Program Ekstensifikasi Perkebunan Kelapa Sawit 

Sawit merupakan tanaman monokultur yang memanfaatkan luasan lahan, menyerap banyak air, merusak unsur hara tanah serta mematikan tanaman-tanaman yang ada di sekitarnya. Selain itu dari isu lingkungan, deforestasi jutaan hektar yang di akibatkan ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan lingkungan, banjir dan menyempitnya ruang hidup masyarakat khususnya petani dan masyarakat adat. Program ekstensifikasi sawit serta peremajaan yang bekerjasama baik antara PBNU dan Kementrian maupun PBNU dan koorporasi sudah berjalan dibeberapa daerah dengan manggandeng Pengurus Wilayah NU di setiap provinsi, salah satunya di Sumatera. Di Sulawesi selatan sendiri ini pertama kalinya PWNU Sulsel mendapatkan program ekstensifikasi sawit. Dalam konteks Sulawesi selatan ada beberapa daerah yang masuk dalam konsesi kelapa sawit baik itu yang dikelola  oleh BUMN dalam hal ini PTPN XIV maupun oleh perusahaan swasta, diantaranya ialah Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Soppeng, Enrekang, Palopo, Pinrang, Sidrap dan Wajo. 

Kehadiran kelapa sawit di beberapa daerah di Sulawesi Selatan banyak menuai polemik mulai dari perizinan, tumpang tindih lahan, bahkan masyarakat selalu menjadi korban penggusuran, lahan pertanian warga masuk dalam klaim kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit,  misalnya yang terjadi di Kecamatan Berau Luwu Timur tahun 2021 lalu. Alat berat memasuki wilayah warga, PTPN XIV melakukan penggusuran terhadap lahan pertanian warga yang subur, keteganganpun terjadi di lapangan antara warga dan pihak PTPN XIV yang dibantu oleh Kepolisian.  Namun pada akirnya lahan tersebut masih disengketakan dan tidak diperbolehkan ada aktivitas oleh kedua belah pihak di lahan tersebut, padahal warga secara turun temurun sudah mengelola lahan tersebut selama puluhan tahun. Pertanyaan kritisnya bagaimana warga mampu bertahan hidup ketika warga dilarang mengelola lahan tersebut? Sedangkan diatas lahan itulah warga mencari rezeki utuk menafkahi keluarga, berbeda dengan para elit PTPN XIV yang punya tabungan banyak dan mampu bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekerja. 

Di wilayah lain juga terjadi pola yang sama dan aktor yang sama. Semenjak tahun 2020, Bupati Enrekang yang menjabat dua periode Muslimin Bando mengeluarkan Surat Keterangan (SK) Rekomendasi Perpanjangan HGU PTPN XIV seluas 3.267 hektar, saat itu pula masyarakat kampung Sikamasean Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang dihantui rasa cemas akan adanya penggusuran terhadap lahan pertanian milik warga yang sudah di kelola sejak puluhan tahun. Lahan tersebut akan ditanami kelapa sawit, dari tahun 2021 hingga 2022 warga merespon dengan melakukan aksi hingga penghalangan terhadap alat berat yang akan memasuki lahan milik warga. 

Dalam rentan waktu 2 tahun konflik antara warga pemilik lahan pertanian di kampung Sikamasean dan PTPN XIV sering terjadi, akibat konflik tersebut warga mengalami luka-luka, ada yang dikriminalisasi bahkan sudah ada warga yang lahan pertaniannya disapu rata oleh alat berat milik PTPN VIX. Bupati Enrekang mencoba memberikan solusi, dengan menawarkan para petani pemilik lahan agar menjadi buruh di perkebunan sawit yang akan di tanami di atas lahan warga dengan dalih kesejahteraan dan penyediaan lapangan kerja. Tentu hal konyol dalam peradaban umat manusia, bagaimana mungkin lahan yang dulunya milik warga, di kelola oleh warga sebagai tanah garapan, tiba-tiba PTPN XIV mengklaim tanah tersebut dan mempekerjakan warga sebagai buruh di atas tanah milik mereka sendiri?

Dalam beberapa konteks, kehadiran industri perkebunan kelapa sawit berjalan seiring dengan proses  peralihan profesi yang dulunya sebagai petani, menggarap lahan milik mereka sendiri kemudian beralih sebagai buruh di industri perkebunan kelapa sawit, karena sudah tidak ada lagi lahan yang akan digarap, ini wujud konkrit perubahan sosial yang terjadi akibat ekspansi perkebunan skala besar. Merubah satu corak produksi masyarakat yang dulunya bertani menjadi seorang pekerja/buruh membutuhkan waktu yang cukup lama serta keahlian dalam mengoperasikan alat-alat produksi. Jikalau diterima sebagai buruh, berlapis lapis beban akan menanti, persoalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pesangon, gaji yang di bawah Upah Minimun Provinsi (UMP), jika ia pekerja perempuan akan menghadapi beban yang berlipat ganda, budaya patriarki yang kian mengakar, persoalan pelecehan hingga kekerasan seksual, begitu kompleksnya persoalan perburuhan di Indonesia! 

Bagaimana jika ekspansi perkebunan kelapa sawit masuk sampai ke wilayah hukum masyarakat adat?  Dalam beberapa daerah hal itu sudah terjadi, seperti yang dialami masyarakat adat dayak di Kalimantan, jutaan hektar hutan masyarakat adat beralih menjadi industri perkebunan kelapa sawit. Tidak menutup kemungkinan hal seperti ini akan di alami oleh masyarakat adat lainnya, karena bagaimanapun juga dalam diri industri perkebunan kelapa sawit melekat watak eksploitasi, ekspansi dan akumulasi sebagai satu kesatuan yang sering kita sebut sistem kapitalisme.

Masyarakat adat dalam konteks ekspansi industri perkebunan kelapa sawit memiliki bentuk perlawanan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bahkan bisa dibilang cukup ekstrim. Karena ada kohesi sosial yang terbangun sejak lama antara masyarakat adat dan alam sekitar. Disitulah titik relasi epistemologi yang terbentuk. Berbeda cara pandang negara, koorporasi dan masyarakat adat dalam melihat lingkungan alam sekitar. Negara cenderung bersikap ambigu bahkan memihak kepada koorporasi, koorporasi hanya memandang sebagai komoditas atau barang yang bisa diperjualbelikan, sedangkan masyarakat adat bukan hanya sebatas relasi ekonomi semata, akan tetapi ada unsur kebudayaan, kearifan lokal, bahkan spiritual yang telah lama dirawat serta dijaga secara turun temurun di alam sekitar. Problem struktural menjadi tantangan masyarakat adat hingga hari ini, rezim silih berganti akan tetapi Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat belum juga di sahkan, RUU Masyarakat adat hanya dijadikan sebagai penghias dalam program legislasi nasional. 

Negara sebagai pemangnku kewajiban Hak Asasi Manusia (HAM) berhak menghormati, melindungi serta memenuhi Hak Asasi Manusia. Itulah mengapa ketika negara melakukan perampasan tanah rakyat, perusakan terhadap lingkungan hidup, okupasi tanah masyarakat adat, kriminalisasi terhadap petani, dianggap sebagai pelanggaran HAM, karena hanya negara yang bisa memungut pajak dari rakyatnya dan itu secara legal, hanya negara yang bisa memerintahkan bawahaannya untuk merampas tanah rakyat, hanya negara yang bisa memberikan izin bagi koorporasi utuk merusak lingkungan, hanya negara  yang bisa mencetak uang dan hanya negara pula yang bisa memerintahkan aparat untuk menembak rakyatnya. 

Respon Islam Progresif Atas Ekstensifikasi Industri Perkebunan Kelapa Sawit

Islam pada dasarnya progresif, yang cenderung mengaburkan progresifitas islam ialah keberislaman kita sebagai pemeluk agama islam. Dua hal yang saya kira sangat berbeda antara Islam dan keberIslaman. Jangan heran ketika di era orde baru bahkan hingga saat ini beberapa intelektual islam dan penceramah menyebarkan gagasan-gagasan yang mengarah kepada agenda neoliberalisme dengan watak individualistik dan persaingan pasar bebas, misalnya islam dan pembangunan, islam dan etos kerja. Pandangan ini justru mengaburkan keberpihakan islam yang nyata terhadap orang yang dilemahkan secara struktural serta memoderasi dimensi progresifitas dalam gerakan politik islam. Persoalan materil yang dihadapi rakyat selalu absen dalam diskursus maupun gerakan keislaman kita. 

Setidaknya ada 3 hal yang  menjadi agenda keberislaman kita dengan pendekatan khusus dalam memaknai keimanan dan keIslaman sehingga keberIslaman kita tidak kaku serta menunjukan keberpihakan terhadap masyarakat yang dilemahkan. Mengutip perkataan Muhammad Al Fayyadl , Pertama islam sebagai jalan spiritual, kedua Islam sebagai etika sosial dan ketiga islam sebagai jalan pembebasan.

Pertama, islam sebagai jalan spiritual, contohnya sebagian besar warga nahdliyyin sudah melaksanakannya, sholat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, berhaji bagi yang mampu.

Kedua, Islam sebagai etiika sosial, di sini sebagian besar tercakup  dimensi ‘ihsan’, berbuat baik kepada sesama, ramah, dermawan.

Ketiga, menurut saya masih sangat sulit dijalankan oleh para pemeluk islam ialah ‘islam sebagai jalan pembebasan’, memimpin umat dalam melawan kezaliman dan orang-orag zalim, bergeriliya membantu orang-orang untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara, aktif berorganisasi memerangi kemiskinan dan pemiskinan, melakukan edukasi kritis atas massa dan lain-lain. Pengertian khusus ‘Jihad Fisabilillah’ dan pengamalannya secara konkrit dalam situasi hari ini. 

Dalam konteks industri perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah banyak mengalami konflik agraria, rakyat selalu berada di posisi korban, bukan hanya itu, perubahan bentang alam mengakibatkan kerusakan lingkungan hingga  krisis ekologi akibat ekspansi perkebunan sawit. Ekstensifikasi sawit membutuhkan tanah yang luas, selalu tanah garapan rakyat menjadi sasaran industri perkebunan sawit. Sejauh mana kelompok-kelompok islam merespon problem tersebut.

Berangkat dari problem yang di ciptakan oleh industri perkebunan kelapa sawit, Islam secara prinsip dan moral menunjukan sikap yang tegas atas persoalan tersebut. Dalam Al-Quran perintah agar tidak terjadi akumulasi modal dan alat produksi hanya pada satu kalangan jelas ditunjukan dalam surat Al-Hasyr ayat Tujuh, ada satu kalimat kunci dalam ayat tersebut “Jangan sampai harta kekayaan hanya beredar di satu kalangan saja”, berbicara soal harta kekayaan yang terpenting ialah penguasaan atas alat produksi. Sebagai negara agraris, tentu tanah merupakah salah satu alat produksi di Indonesia. ayat ini secara normatif bisa menjadi landasan mengenai pengelolaan alat produksi termasuk tanah yang adil.  

Industri perkebunan kelapa sawit berkontribusi terhadap persoalan lingkungan, dalam beberapa praktek pembukaan lahan skala besar dilakukan degan cara membakar hutan yang mengakibatkan deforestasi, polusi udara, sekaligus mengancam habitat yang berada dalam hutan. Respon islam maupun kelompok islam terhadap persoalan lingkungan masih sebatas normatif dan tendensinya pun moralis, melakukan penanaman pohon, mengajak membuang sampah pada tempatnya, kegiatan memungut sampah. Cara-cara seperti itu bagus dan bukan berarti dilarang, tetapi menggeser cara pandang tersebut agar lebih luas melihat persoalan lingkungan bahwa ada problem stuktural menyentuh ranah kebijakan yang mengakibatkan kondisi lingkungan kita seperti ini, ada persoalan ekonomi politik. 

Salah satu ayat yang menyorot persoalan lingkungan terdapat dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang bunyinya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena tangan manusia, sehingga Allah menciptakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Dalam tafsir Al-misbah karya Anregurutta Prof. Quraish Shihab menjelaskan, telah tampak kerusakan di darat ,seperti kekeringan dan paceklik. Begitu juga di laut terjadi kerusakan ekologi—seperti kekurangan hasil laut dan tenggelam, ikan dan terumbu karang yang rusak. Kerusakan ini diakibatkan oleh tangan manusia yang durhaka. Tafsir ini perlu dipertegas, menyesuaikan dengan konteks atau dalam artian melihat teks menggunakan konteks, misalkan siapakah yang dimaksud ‘Aidinnassi’ (manusia) di ayat tersebut dalam konteks sistem kapitalisme mutakhir hari ini. Apakah petani yang memiliki sistem pengelolaan pertanian dengan tidak mengabaikan lingkungan hidup, apakah masyarakat adat yang punya caranya sendiri dalam mengelola serta menjaga hutan, apakah nelayan yang memiliki cara tersendiri dalam menjaga laut dan pesisir dalam bentuk sedekah laut. Tentu bukan mereka, melainkan manusia-manusia yang tamak, serakah, yang suka mengeksploitasi alam secara berlebihan dengan mengorbankan lingkungan hidup dan Mustadhafin (rakyat yang dilemahkan). 

Beberapa kelompok islam di Indonesia secara keputusan organisasi mencoba manjawab personal materil yang sedang dialami rakyat, namun belum mampu di wujudkan sebagai sebuah agenda konkret hingga sampai pada lapisan terbawah. PBNU misalnya secara normatif mengeluarkan satu keputusan dalam forum Bathsul Masail tentang haramnya perampasan tanah yang di lakukan oleh negara tarhadap tanah garapan milik rakyat yang dikelola secara produktif, pada intinya haram hukumnya mengalihfungsikan lahan produktif. Pertanyaannya, apakah keputusan tersebut bisa di jalankan? Jangankan oleh warga Nahdliyyin secara kultural, pengurus struktural NU dari yang paling atas sampai yang paling bawah sejauh mana keberpihakan terhadap warga yang tanahnya di rampas oleh industri perkebunan kelapa sawit? Sejauh mana respon terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ekspansi perkebunan kelapa sawit, atau jangan-jangan justru kelompok-kelompok ini bermain dalam lingkaran sawit demi meraup keuntungan semata. 

Jauh sebelum keputusan bathsul masail PBNU di keluarkan tentang haramnya perampasan tanah, ada satu hadits yang di riwayatkan Sa’id Bin Zaid yang bunyinya “Barang siapa yang mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan di kalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat”. Hadits tersebut menunjukan sejak dari awal misi dakwah islam telah menyentuh dimensi materil dari kehidupan sosial itu sendiri. Islam diperhadapkan secara materil dengan fakta bahwa prasyarat kehidupan berlangsung secara tidak adil dan syarat akan koflik. Pertemuan antara ajaran langit dan kontradiksi di bumi secara konsekuen islam dan umat islam tidak dapat lagi diam dan mesti sungguh-sungguh menyikapi persoalan itu.

PWNU Sulsel sebelum melangkah lebih jauh menindaklanjuti program ekstensifikasi kelapa sawit di Sulawesi Selatan sekiranya perlu melakukan kajian mendalam, bukan bermaksud menggurui. Saya mengerti para kiai, ulama, sesepuh serta guru-guru saya yang masuk dalam jajaran kepengurusan paham akan hal ini dan bijak dalam mengambil keputusan. Saya teringat salah satu qaidah fiqh yang kurang lebih bunyinya seperti ini “Menghindari kerusakan atau kumudharatan harus di dahulukan ketimbang mengambil satu keuntungan atau kemaslahatan”. Pada titik ini segala tindak tanduk organisasi baik itu dalam bentuk program, yang perlu jadi perhatian terlebih dahulu sejauh mana dampak yang akan dirasakan oleh warga akibat pembukaan lahan skala besar oleh industri perkebunan kelapa sawit, perlu ditinjau dampak sosial, politik, budaya dan ekonomi, apakah tanah garapan warga masuk dalam konsesi perkebunan ataukah kehadiran perkebunan kelapa sawit akan semakin memperparah kondisi lingkunngan hidup  sekitar.

Akhlaq Rasulullah ( Shalallahu ‘alaihi wasallam ) yang paling sulit ditiru hari ini adalah kesederhanaannya dalam hidup, kedekatannya dengan kaum faqir-miskin dan pembelaannya atas orang-orang yang di zalimi. Semoga kita bisa pelan-pelan meniru (Muhammad Al Fayyadl).

Altiara Pramana Putra Basri, Koordinator Divisi Advokasi dan Pendidikan LAPAR Sulsel, Koordinator Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Komite Makassar

Terbaru

Lainnya