Oleh : Altriara Pramana Putra Basri, Koordinator Divisi Advokasi LAPAR Sulsel
Sebuah Pengantar
Mengapa harus disebut malapetaka?
Kita sering menganggapnya sebagai sebuah musibah, bencana, kesengsaraan dan juga kecelakaan. Namun tidak semua malapetaka yang hadir ditengah hidup kita tanpa ada intervensi manusia, tanpa ada campur tangan manusia. Dalam beberapa hal, manusia justru menjadi penyebab, bahkan individu ataupun kelembagaan yang diberi amanah untuk mengelola kehidupan umat, justru memainkan peranan penting atas malapetaka yang terjadi ditengah umat. Terkadang ia datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sedikitpun, tetapi ada juga malapetaka yang sengaja diciptakan.
Namun sebelum membahas lebih jauh tentang kawasan destinasi wisata bahari di Pulau Lae-Lae yang rencananya akan dibangun oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, saya selalu membayangkan bahkan meraba-raba tentang satu terminologi yang selama ini sering di dengar dan digunakan untuk pengklaiman atas hak, bahkan dalam konteks tertentu ia dipakai untuk mengklaim atas rasa tanggungjawab. Sebut saja “Masyarakat Pesisir”, apa yang dimaksud dengan masyarakat pesisir? siapakah masyarakat pesisir itu? atau bagaimanasih masyarakat pesisir itu diabad 21?
Apakah yang disebut masyarakat pesisir sebagai sebuahdiskursus, sebagai kerangka berpikir/epistem, sebagai sebuah produk kebudayaan, atau kah sebagai gerakan sosial politik. Empat tendensi diatas sebagai kesimpulan sementara dan menjadi hal penting untuk mendefinisikan, melakukan pembacaan atau pemaknaan ulang atas masyarakat pesisir diabad 21.
Makassar dengan segala kompleksitasnya disertai hiruk pikuk perkotaan, penting menelisik posisi masyarakat pesisir bahkan masyarakat pulau-pulau kecil yang bertransformasi dari koeksistensi menuju koresistensi sebagai suatu titik balik atas krisis yang dialami. Yang paling terasa ialah kirisis atas ruang bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar.
Jika kita melakukan pengecekan kembali atas situasi dan kondisi masyarakat pesisir dan pulau kecil di Makassar selama dua dekade terakhir, akses terhadap ruang kian menyempit. Semua itu bukan tanpa sebab, disepanjang wilayah tanjung bayang, tanjung bunga, Center Poin Of Indonesia (CPI) ,Panambungan,Pulau Lae-Lae, Ujung Tanah, Tallo, akses ruang bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya nelayan tradisional semakin terancam, bahkan mereka mengalami penyingkiran dan penggusuran. Peruntukannyapun beragam, ada yang dijadikan sebagai tempat pariwisata, properti, pembangunan proyek strategis nasional seperti pelabuhan pelindo.
Jika semua itu masih terus berlangsung, akankah semboyan orang Makassar sebagai pelaut ulung mengalami ketercerabutan dari akar identitas dan kebudayaan mereka. Karena bagaimanapun juga, reproduksi ruang dan reproduksi sosial saling terintegrasi, antara proses spasial dan proses sosial, antara ruang dan masyarakat memiliki sejarah, dan sejarahnya dibentuk dalam dialektikanya dengan masyarakatnya.
Kuasa Wisata
Kali ini Pulau Lae-Lae menjadi sasaran pembangunan destinasi wisata bahari. Tempat wisata ini nantinya akan dibangun diatas lahan reklamasi seluas 12,11 Ha. Jika reklamasi berjalan mulus, maka bisa dipastikan tempat pariwisata akan segera berdiri kokoh. Namun hingga saat ini masyarakat secara tegas tetap menolak pembangunan reklamasi tersebut, upaya-upaya penolakan masih terus berlangsung. Setelah saya membaca Peraturan Gubernur tentang destinasi wisata bahari Pulau Lae-Lae, berbagai macam infrastruktur, fasilitas, sarana dan prasarana akan disediakan demi mendukung segala aktifitas pariwisata.
Agar pembangunan kampung wisata ini terintegrasi dan berkelanjutan , maka kualitas dan kondisi Jalan akan diperbaiki sebagus mungkin, tersedia juga jalur pejalan kaki, jalan setapak, jalur sepeda dan tempat parkir, segala Infrastruktur dikemas segagah mungkin. Saya membayangkan tak akan ada lagi sampah, soalnya pengelolaan sampah akan menerapkan prinsip pendaurulangan, penggunaan kembali dan pengurangan sampah (recycling, reuse dan reduce), bahkan selama ini tak pernah ada perahu pengangkut sampah di Pulau Lae-lae, maka akan segera diperadakan demi kenyamanan dalam berwisata.
Coba bayangkan, begitu seriusnya pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam rencana pembangunan destinasi wisata bahari Pulau Lae-Lae. Tak tanggung-tanggung, demi memikat daya tarik wisatawan, kualitas fasilitas ditingkatkan, wilayah yang dulunya berisi perahu nelayan, rumpon nelayan, tempat melempar pukat, menangkap udang rebon, memancing cumi, menangkap kepiting dan mencari kerang akan dibangun pusat informasi disertai perlengkapannya, gazebo, taman, plaza, menara pandang, panggung kesenian, kios cendramata, dan yang terpenting ialah ruang ganti atau toilet, sebab pariwisata ini juga akan mengatur kencing dan beraknya wisatawan bahkan sampai ke lipatan pantat.
Tak hanya itu, ada juga peningkatan fasilitas penunjang agar memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk menikmati wisata bahari Pulau Lae-lae. Ada dive center beserta peralatannya, agar para pengunjung bisa diving, melihat pemandangan bawah laut Pulau Lae-lae, disediakan pula Surfing Center dan peralatannya, jika ada pengunjung yang suka berselancar, memacu adrenalin ditengah ombak datanglah ke tempat ini. Selain itu ada dermaga wisata, akomodasi wisata serta penyediaan jasa makanan dan minuman. Bisa dibilang inilah paket wisata bahari yang komplit.
Tak heran jika para pejabat, politisi, pengusaha dan kelas menengah perkotaan akan berbondong-bondong berdatangan, bukan hanya berasal dari kota Makassar, bahkan dari luar kota Makassar akan berlomba kesana. Sebab mereka membutuhkan hiburan dan kesenangan hati ditengah hiruk pikuk dan kebisingan kota, lalu mendatangi tempat sunyi, hening, menarik, unik yang bernunsa alam dengan fasilitas ala perkotaan.
Kemudian bagaimana dengan masyarakat lokal yaitu masyarakat Pulau Lae-Lae, jangan khawatir. Dulunya nelayan yang mendayung perahu, papalimbang yang menyediakan jasa penyeberangan, perempuan nelayan yang berjualan dan mencari kerang, anak-anak muda, akan memperoleh pekerjaan baru. Nantinya mereka akan dipekerjakan di destinasi wisata bahari sebagai buruh wisata, membersihkan taman, mengepel lantai, security/penjaga keamanan, membersihkan toilet, pelayan, penyedia jasa, dan jika pedagang maka akan disediakan tempat untuk menjajakan dagangannya, tentu semua pekerjaan baru itu akan mendisiplinkan mereka, masuk dan pulang kerja dengan tepat waktu.
Namun untuk memenuhi standar sebagai buruh wisata yang siap kerja, maka warga lokal terlebih dahulu akan memperoleh peningkatan kapasitas, mereka akan dilatih, diberikan pendidikan dan sejeninya. Makanya jangan heran, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengakomodir hal itu melalui Peraturan Gubernur tentang destinasi wisata bahari Pulau Lae-Lae. Misalnya peningkatan kapasitas melalui program sadar wisata, peningkatan kualitas pelayanan dan jasa, serta peningkatan keterampilan menggunakan teknologi informasi.
Saya pun berinisiatif untuk menemui para nelayan, pelaku wisata dan anak-anak muda Pulau Lae-Lae, mewawancarai mereka tentang pembangunan destinasi wisata bahari. Dari hasil wawancara , tak satupun dari mereka pernah dilibatkan dalam pembahasan mengenai rencana pembangunan destinasi wisata bahari, bahkan merekapun sama sekali tidak mengetahui kalau pulau Lae-Lae masuk dalam Kawasan Strategis Provinsi dan Kawasan Pusat Bisnis Terpadu.
Mereka tak dipandang sebagai subyek dalam pembangunan destinasi wisata bahari, nama-nama mereka hanya cukup tercatatat dalam angka-angka statistik kemiskinan. Makna partisiasi dipersempit, seolah-olah mereka yang berada di gedung bertingkat dan ruangan berAC lebih tahu dan paham dalam mengelola laut dan pulau-pulau kecil ketimbang warga lokal yang telah lama menempati pulau.
Orang seperti ibu Karanuang yang usianya sudah mencapai 61 tahun, berjualan diatas pasir putih sebelah barat Pulau Lae-Laesejak tahun 1970an. Beliau menjelaskan bahwa tampat wisata yang ada sekarang dan dikelola oleh warga sudah cukup bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun pengunjung yang datang hanya dua kali dalam seminggu yaitu di hari sabtu dan minggu, penghasilan yang diperoleh ibu karanuang minimal 150-300 ribu selama dua hari, jika lagi ramai bisa mencapai 500 ribu dalam dua hari. Bahkan sebelum corona penghasilan ibu karanuang bisa mencapai 800 ribu.
Dalam kesempatan wawancara, beliau secara tegas menolak pembangunan destinasi wisata bahari dengan pertimbangan sederhana tanpa muluk—muluk, “jika laut ditimbun dan dibangun tempat pariwisata baru maka tak ada lagi pantai sebagai tempat berjualan mengais rezeki, keindahan pasir putih yang berhadapan langsung dengan laut yang ditimbun akan hilang, tempat nelayan mencari rejeki akan lenyap ditelan reklamasi demi tempat wisata baru”. Ucap Ibu Karanuang.
Begitu indah kan destinasi wisata ini, ia menjadi jalan mudah untuk meraih kemajuan, tak ada lagi pulau dan kampungnelayan yang miskin, kumuh dan tertinggal, semua akan ditata sebagus mungkin dan dibingkai dalam logika pariwisata. Oleh karena itu pemerintah provinsi berupaya melegitimasinya dengan berbagai macam produk hukum di tingkat lokal. Melalui Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Selatan, Pulau Lae-Lae masuk dalam Kawasan Strategis Provinsi yaitu sebagai kawasan pusat bisnis terpadu, Maka dihadirkan dalam wujud yang lebih konkrit pada level pelaksanaan melalui Peraturan Gubernur tentang Destinasi Wisata Bahari Pulau Lae-Lae.
Pulau Lae-Lae akan dijadikan destinasi wisata bahari yang mewah, wisata bahari bertaraf nasional akan dibangun, semua akan kelihatan indah. Namun Dari semua keindahan yang dibangun, fasilitas yang lengkap, berfoya-foya, jalan-jalan, berselfie ria, healing-healing, dari pariwisata ini yang diklaim terintegrasi dan sustainable, siapakah yang akan menanggung semua biaya sosial, budaya, ekonomi dan eklogis?
Tentu masyarakat Pulau Lae-Lae yang akan menanggung semua itu, bukan para peloncong dari Kota Makassar dan kota-kota besar lain yang berdatangan, bukan pula pemerintah provinsi. Begitulah cara kerja malapetaka dengan campur tangan manusia, ia dibungkus dalam kuasa pariwisata, semua akan kelihatan indah dipandang, enak didengar, tenang dirasa, tetapi malapetaka bagi masayarakat lokal khususnya masyarkat Pulau Lae-Lae.