Demokrasi sebagai konsep rupanya tak cukup dengan prosedur, kultur demokrasi pun mesti menjadi penguat untuk mendirikannya sebagai bahagian integral dari cara berfikir dan bertindak dalam sebuah institusi. Dalam banyak hal, kultur demokrasi penting untuk menerapkan konsep demokrasi sebagai aksi.
Aspek hukum misalnya, memang benar hukum adalah salah satu unsur pokok penegakan demokratisasi. Tetapi penegakan hukum akan loyo bila kultur demokrasi tak membiasa dalam hari-hari kita di sebuah institusi–termasuk institusi negara. Sebab hukum itu sendiri esensinya mengabdi pada kaum ramai. Kaum ramai tentu bertalian dengan kultur.
Cara berfikir dan bertindak mesti sejalan untuk penegakan demokrasi. Bila cara berfikir saja yang demokratis, maka tindakan akan salah jalan. Dan bila cara bertindak saja yang demokratis, maka pikiran/paradigma berpotensi terganggu dan gangguan itu bisa saja mengembalikan tindakan pada pola-pola otoritarianisme.
Apa kultur demokrasi itu? Kultur demokrasi dapat diartikan sebagai nilai-nilai demokratis yang diterapkan dalam kehidupan warga negara. Jika demokrasi pada umumnya diterapkan dalam pemilu, pilkada, dan sebagainya sebagai prosedur, maka budaya demokrasi tercermin dari sikap pemerintah, wakil rakyat dan masyarakat di kesehariannya. Nilai-nilai kultur demokrasi yang diterapkan seperti keadilan, toleransi, persatuan, kerja sama, musyawarah, dan sebagainya tercermin dalam setiap cara berfikir dan bertindak.
Lalu mari bercermin. Kultur demokrasi kita sebenarnya sangat dangkal. Faktor ini sebenarnya sering merepotkan bangsa ini. Lihatlah, orang-orang teriak, berpendapat, dan berdebat tentang pemilu atau pilkada–tetapi nilai-nilai kultur demokrasi itu tak pernah maksimal dipraktekkan dalam setiap praktik politik kita. Lembaga-lembaga politik formal seperti parpol begitu aktif mendendangkan demokrasi, tetapi di internal mereka sendiri, demokrasi tak berbukti.
Sementara di level sosial kita saksikan bagaimana toleransi, kerja sama, dan musyawarah terinjak-injak oleh kaki-kaki kita sendiri. Namun, ia intens dikampanyenkan. Toleransi misalnya selalu menjadi persoalan yang mencekik hari-hari kita. Di dunia medsos, kita nyata merasakan cekikan-cekikan itu. Daya rusaknya, melampaui daya rusak serangan Rusia ke Ukraina. Kita begitu anti pada yang lain dalam hal cara pandang keagamaan dan politik. Tetapi dalam urusan ekonomi, rupanya kita sungguh toleran. Toleransi ada ketika perut keroncongan. Toleransi hadir ketika dompet mulai hampa. Kita cenderung menerima yang beda ketika kebutuhan-kebutuhan pragmatis kita mulai krisis.
Dalam dunia kerjasama, ia nyaris tak lagi disemaikan dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Kecanggihan tekhnologi informasi seringkali dituduh biang keladi. Tetapi di luar sana, kerjasama mulai hambar. Fragmentasi sosial merebak dimana-mana. Kultur kerjasama pudar-memudar. Kecuali dalam urusan politik, kerjasama tampak mencolok, sering disebut koalisi.
Dalam urusan musyawarah kita lihat digelar dimana-mana, siang-malam dan gratis. Pemilihan berlangsung dimana-mana. Mulai dari Calon kepala desa, hingga calon presiden dipilih langsung oleh warga. Begitu pula dalam ruang-ruang institusi sosial–musyawarah rutin digelar, kadangkala diselingi pemilihan.
Memang disitu ada yang terpilih, tetapi kadangkala ada yang menyanggah lantaran kalah. Disini musyawarah memang dijalankan sesuai prosedurnya, tetapi kesepakatan menerima hasil seringkali mustahil. Mungkin inilah salah satu akar, mengapa demokrasi kita senantiasa berstatus “transisi” sejak reformasi 98 hingga kini. Dua dasawarsa lebih, demokrasi kita emergensi selalu.
Ironi sebenarnya. Sebab pelaku atau para aktor demokrasi kita rupanya lemah kultur demokrasi pada dirinya. Padahal, mereka adalah kelompok kelas menengah yang berijazah sekolah. Mereka tersebar di sejumlah institusi. Entah itu institusi negara, entah itu institusi parpol, entah itu di lembaga-lembaga sosial. Dan, mereka pulalah yang menganjurkan demokrasi tanpa henti. Ironis.
Abdul Karim, Dewan Pengawas LAPAR Sulsel
Ilustrasi: Muhammad Irham Tuppu, Koordinator Divisi Riset dan Kampanye LAPAR Sulsel