Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat

AktivitasKebijaksanaan Ulama Nusantara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup

Kebijaksanaan Ulama Nusantara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup

Dalam menjaga kelestarian alam , para ulama di Nusantara telah banyak mengajarkan kepada umat Islam tentang bagaimana menjaganya. Cara yang digunakan oleh para ulama nusantara, yakni mengeluarkan fatwa-fatwa terkait alam, seperti yang dilakukan oleh Sunan Giri yang  mengeluarkan fatwa mengenai hukum tentang kelautan dan KH. As’ad Al-Banjari dalam Hikayat Banjar yang membahas tentang tanah berberkah,  dimana tanah tersebut harus dijaga kelestariannya. Hal Ini disampaikan oleh Syamsurijal Adh’an dalam ceramah maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan berkolaborasi dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan dengan tema “Keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam Melestarikan Lingkungan” di Kantor LAPAR Sulsel, Jl. Toddopuli 7, Jum’at (27/10/2023)

“Sebenarnya kalau kita lacak, istilah yang muncul pada masyarakat adat itu, seperti pohon karama’, tana karama’, hutan keramat itu bukanlah sesuatu yang melenceng dari ajaran agama Islam, karena ulama kita pernah mengeluarkan ajaran itu, yang disebut tanah berberkah. Jika ditelusuri tanah berberkah ini adalah tanah yang di sekitarnya terdapat sumber daya alam, seperti sumber mata air dan hutan. Jadi masyarakat adat dalam menjaga tanah-tanah keramat itu, sebenarnya melanjutkan ajaran-ajaran para ulama kita,” paparnya.

Pria yang merupakan peneliti BRIN ini juga menjelaskan bahwa para ulama nusantara tidak serta merta mengharamkan ritual masyarakat adat yang berhubungan dengan alam. Karena dengan ritual tersebut masyarakat dapat membangun hubungan emosional dengan alamnya. Dengan terbangunnya hubungan emosional, menjadikan masyarakat enggan untuk merusak alam dan menjaganya dengan sepenuh hati.

“Ketika datang modernisasi, ketika datang investor, dan ajaran agama yang modern, semua ritual-ritual ini dihancurkan. Apa yang terjadi kemudian?  Orang-orang kehilangan hubungan emosionalnya dengan alam. Pada saat hubungan emosional itu hilang, maka dengan mudah mereka (masyarakat adat) menyerahkan tanahnya kepada investor untuk digarap. Padahal dulu, ketika alamnya diganggu, mereka juga merasa terganggu”tegasnya.

Ia melanjutkan bahwa dalam ritual-ritual yang mengandung unsur kemusyrikan didalamnya, para ulama tidak langsung mengharamkan, melainkan mengubah unsur tersebut secara perlahan dengan ajaran-ajaran Islam.

“Menurut Thomas Gibson, yang meneliti semua ritual-ritual yang ada di Sulawesi Selatan, itu dia mengatakan semua ritual tersebut sudah disisipi nilai-nilai ajaran Islam didalamnya, seperti barzanji. Coba kita perhatikan semua ritual yang mengandung siklus hidup, seperti aqiqah ada barzanji, mattama bola baru ada barzanji, dapat mobil baru ada barzanji, semua disisipi dengan barzanji. Itulah cara ulama kita dalam menghilangkan unsur-unsur yang dianggap akan bersentuhan dengan kemusyrikan. Jadi bukan ritualnya yang dilarang,” urainya.

Penulis: Susan Alwia, Staf Divisi Kampanye LAPAR Sulsel

Terbaru

Lainnya