“Saya tidak tahu dari mana datangnya pelarangan bissu melakukan ritual penyucian pusaka-pusaka (mattompang arajang) kerajaan Bone yang sebelumnya kami lakukan setiap tahun, di Hari Jadi Bone,” kata Bissu Puang Matoa Ancu.
Kekecewaan itu ia sampaikan lantaran dalam perayaan Hari Jadi Bone ke-692, Maret lalu, bissu dilarang mengambil peran kebudayaan menjalankan ritual-ritual penting, seperti mattompang arajang dan menampilkan maggiri (tarian kebal benda tajam).
Banyak pihak menduga Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman tidak membolehkan bissu menjalankan ritual di Hari Jadi Bone.
Puang Ancu menyesalkan hal itu terjadi justru ketika eksistensi bissu, sebagai gender kelima dan pemimpin spiritual dalam sejarah masyarakat Bugis kuno, semakin tersingkir dan terancam hilang, sementara ia sendiri merasa berkewajiban menunaikan setiap peran spiritualnya seperti dilakukan para pendahulunya.
Bissu Eka dari Pangkep meramalkan kalau dirinya maupun Bissu Puang Ancu sebagai generasi terakhir bissu jika terus berlangsung stigma dan penyingkiran adat budaya Bugis ini. Pendeta Bugis kuno, bissu, termaktub dalam Epos Sureq I La Galigo yang ditulis sekitar abad ke-13 sampai 15.
“Di masa raja-raja Bugis kuno, bissu mempunyai tempat sangat penting dan dihormati secara spiritual di istana,” kisah Bissu Eka.
Sekarang, lanjut Bissu Eka, kalau bukan panggilan, tak ada calabai (transpuan) yang mengabdikan diri menjadi bissu, karena sekarang pemerintah tidak menjamin kebutuhan bissu.
“Bissu itu calabai, tetapi tidak semua calabai adalah bissu,” ujar Bissu Eka.
Ia menegaskan kalau waria, calabai (transpuan), berbeda dengan bissu yang adalah calabai yang tekun berguru, ditempa dengan kekuatan spiritual.
Sayangnya, praktik bissu dituduh sebagai musyrik oleh kelompok muslim konservatif. Keberadaannya semakin terkucil. Situs-situs bissu dihancurkan.
Disarikan dari kunjungan media: @tribuntimurdotcom dan @sindonews @koransindo Sulsel, 15 Agustus 2022.